The Seventh Seas

daisyonthegoldy
17 min readJul 8, 2023

--

He's here. Standing in front of the elevator, flaunting his brilliant side profile that looks so fine and cold as usual; with his neat suit, his half frame glasses, his sleek David Beckham's hair, and a little unshaven beard. He's finally here. Membuat langkahku melambat ketika melihatnya. Menimbang-nimbang reaksi seperti apa yang akan aku terima ketika kami betul-betul saling bertatapan.

Tetapi belum sempat aku mendapat jawaban akan pikiranku sendiri, Minho sudah lebih dulu menoleh melihatku yang berdiri lima langkah dibelakangnya. Kemudian wajah yang dingin itu langsung berubah 180 derajat menjadi hangat dengan senyumnya khas itu yang ditujukannya padaku.

"Good morning, Hyun." Aku agak terkejut mendengar sapaan Minho pagi ini yang sangat normal, seperti tidak ada apa-apa yang terjadi pada kami sebelum hari ini dan pernyataan cintanya padaku juga tidak pernah terjadi.

Maka aku pun berusaha sebisa mungkin bersikap seperti Minho. Berusaha sebisa mungkin terlihat wajar, walaupun aku tau kalau aku mungkin jadi kelihatan bodoh dan konyol saat ini.

"Good morning, Minho. Had a pleasant flight? Nyampe jam berapa?" tanyaku saat aku sudah berdiri disampingnya, sama-sama menunggu pintu lift terbuka bersama banyak orang lain yang juga berkantor di gedung yang sama dengan kami.

"Penerbangannya enak. Aku baru nyampe sekitar jam setengah sepuluh malam kemarin, pesawat terakhir. Sori aku nggak sempet ngabarin kamu, capek banget soalnya."

Aku pun tersenyum. "Iya, nggak pa-pa. Yang penting kamu udah sampai dengan selamat."

Dan percakapan kami berhenti hanya sampai di situ. Aku dan Minho sama-sama diam dan aku sendiri tidak tau harus kembali bicara tentang apa lagi. Selain itu area sekitar lift memang sudah mulai ramai dengan karyawan yang baru tiba juga. Sehingga aku juga merasa tidak nyaman untuk bicara lebih panjang dengan Minho yang juga sepertinya punya pemikiran yang sama denganku. Apalagi soal semalam, soal percakapan kami di telepon, soal pernyataan cintanya padaku, dan soal jawaban yang dia juga tunggu dariku hari ini.

Tapi belum sempat aku mengingat lagi apa yang kami bicarakan semalam, pintu lift sudah lebih dulu terbuka. Aku dan Minho sama-sama masuk ke dalam lift disusul dengan orang-orang lainnya, memadati lift yang sama. Tetapi saat aku hampir terdesak oleh banyaknya orang-orang yang masuk ke dalam lift, Minho tiba-tiba merangkulku dan merengkuhku dalam pelukannya. Membuatku terkejut dan mematung di dalam pelukan Minho yang juga masih diam saja, tidak melihatku dan tetap melihat ke depan. Tidak perduli dengan pandangan beberapa orang di sekitar kami yang sedikit curi pandang.

Kini, dalam jarak sedekat ini, ketika tubuh kami bersentuhan, aku bisa merasakan irama jantungnya yang hampir sama denganku. Jantung kami sama-sama berdegup dalam derap yang cepat. Dia nervous, sepertiku. Then you know what I saw? I saw his blushing face that made him look so much cuter, red like a radish, matanya bergerak kesana kemari, tidak mau membalas tatapanku walau sesaat. Membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.

Beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam. Lift akhirnya terbuka di lantai kantor kami, lantai 24. Pelukan yang barusan dia berikan tiba-tiba berganti dengan gandengan di tanganku.

“Sorry, sorry,” Minho berusaha menerobos orang-orang yang masih memenuhi lift sambil terus menggandengku keluar dari kerumunan lift yang memang selalu padat di pagi hari. Dan ketika kami sudah di luar, dia akhirnya melepaskan gandengannya.

“Sori, Hyun. Barusan rame banget,” begitu kata Minho.

Aku mengangguk kecil. “Iya. Harusnya aku yang makasih kamu udah nolongin aku. Makasih, ya.”

Then suddenly, while smiling, he stroked my cheek gently. Just one stroke, but it can give a warm feeling all over my body. Membuatku kembali salah tingkah sambil mengikutinya berjalan bersama kedalam kantor menuju kubikel ku. Gosh! Aku mendadak jadi heran, laki-laki kayak begini kenapa bisa masih single, ya? Kayaknya nggak akan ada orang yang nggak mau sama dia walaupun dia cuma asal nunjuk. Karena walaupun orang ini terkesan dingin, tapi sesungguhnya, dia punya sisi manis yang sangat mudah membuat orang lain jatuh hati.

“Makasih ya, Ho, udah dianterin sampe ke meja. Harusnya kamu langsung masuk ruangan kamu aja,” ucapku saat kami tiba di kubikel ku.

“Nggak pa-pa. Sekalian aku juga mau kasih oleh-oleh untuk Jeongin. Kamu bilang kalau Jeongin suka kan sama Hanuta-nya?” Minho meletakan satu paper bag besar bertuliskan The Cocoa Trees di atas meja. Paper bag berisikan berbagai macam coklat seperti yang seminggu yang lalu dia pernah berikan padaku untuk Jeongin sepulangnya dia dari business trip yang pertama.

“Lho, coklat lagi? Banyak banget ini. Yang kemarin aja belum abis, Ho.”

“Nggak pa-pa. Kan, bisa dia bagi-bagi sama temen-temennya di sekolah.”

Aku pun tersenyum. “Makasih, ya. Jeongin pasti seneng banget nih dibawain coklat sekantong gede begini. Makasih, ya, udah inget sama anak aku.”

Dan Minho juga membalas senyumanku dengan senyuman tipisnya itu. “Iya. Yaudah, aku ke ruanganku dulu, ya. Have a good day, Hyunjin.” Dia pun melambai padaku singkat sebelum akhirnya kembali meninggalkan mejaku untuk masuk ke ruangannya.

Meninggalkanku yang kini jadi bingung, kenapa dia terus bertingkah seakan tidak ada apa-apa yang terjadi diantara kami, ya? But well, mungkin dia belum merasa ini waktu yang tepat untuk bicara. Dan aku juga bersyukur sih, karena sampai sekarang aku juga belum tau harus jawab apa kalau dia sampai bertanya. So, this is better. So much better.

Dan apa yang aku pikirkan seharian ini semuanya akibat malam tadi. Semalam adalah waktu ngobrol terpanjang ku dengan Minho setelah sembilan hari berlalu tanpa dia di kantor dan hanya bisa mengonteknya lewat WA gitu-gitu aja di tengah kesibukannya itu. Dan di malam terakhirnya di Singapore, Minho akhirnya meleponku dengan alasan menemaninya packing yang kemudian diteruskan dengan ngobrol-ngobrol santai setelah dia selesai berkemas.

Selama hampir dua kami ngobrol panjang lebar dengan topik ringan dan jauh dari urusan kerjaan. Cuma saling tanya kabar masing-masing, tanya lagi ngapain, udah makan belum, dia nanya hari ini di kantor ada apa aja, aku nanya hari ini meeting-meeting-nya sama client lancar atau enggak, dia cerita kalau dia barusan makan bak kut teh di tempat yang aku rekomendasikan dan ternyata dia juga suka, sementara aku juga cerita kalau Jeongin Sabtu kemarin baru konser drum di tempat lesnya, well, we practically talked about everything.

Sampai kemudian dia bilang kalau dia lagi nonton ‘127 Hours’ di HBO. Filmnya James Franco yang diangkat dari kisah nyata tentang seorang pendaki yang terperangkap di isolated Slot Canyon di Utah selama 127 jam. And it was the time when that critical conversation between him and me started.

“Aku udah nonton, tuh. Itu film serem banget, asil, deh,” kataku padanya.

“Serem apanya, Hyun? Orang bukan horor, kok. Gimana, sih, kamu?” dia tertawa.

“Memang bukan serem karena horor, Minho. Tapi aku emang selalu nggak berani nonton-nonton film tentang survival gitu-gitu. Kayak The Day After Tomorrow, Snake on the Plane, Poseidon, aku ngeri aja, nggak bisa bayangin kalau aku ada di posisi orang-orang yang diceritain di film itu, kayaknya aku mending langsung mati aja, deh, daripada harus cari jalan untuk survive kayak mereka,” jelasku membuat Minho lagi-lagi tertawa.

“Tapi iya juga, ya, kalau kita ada di posisi seperti mereka, seperti si Aron Ralston ini dan cuma bisa kasih pesan terakhir di rekamannya, kita bakal bilang apa, ya? Kamu bakal bilang apa?”

“Aku? Ngomong apa di detik-detik terakhir? Mana mungkin aku bisa ngomong, hidup aja kayaknya udah enggak! Kayaknya aku malah udah ilang di jam ke-empat, deh,” jawabku membuat Minho kembali tertawa di ujung telepon, begitu juga dengan aku.

“Serius, Hyun, kamu nih, ditanyain malah bercanda.”

“Ya aku nggak tau mau bilang apa, Minho. Aku nggak mau bayangin juga, dibilangin serem. Lagian kurang kerjaan banget aku sampe manjat-manjat tebing gitu. Olah raga yang normal-normal aja, lah, mana nyawa cuma satu. Karena walaupun aku laki-laki, takut mati, sih, masih ada aja, ya,” ucapku sambil terus menggeleng-gelengkan kepala, mengucapkan amit-amit. Sementara Minho terkekeh di seberang.

“Terus, kalau kamu yang ada di posisi si James Franco, kamu bakal bilang apa?”

“Hmm, bilang apa, ya?” aku bisa mendengar Minho bergumam di ujung telepon sesaat sebelum menjawab, “Kalau bilang ‘aku sayang kamu’ aja, boleh nggak?”

“Hah?” jelas aja aku terkejut mendengar jawaban Minho. Apa barusan dia bilang?

“Aku sayang kamu, Hyun. Yang ini aku serius,” Minho kembali menjawab, dengan nada tenang, tapi tegas. Membuatku tau kalau ucapannya bukan bercanda.

Dan aku tertegun. Dengan jelas aku dapat mendengar ucapannya barusan di telinga. Jelas banget. Dan aku nggak tau harus jawab apa. Jadi aku cuma bisa mematung pada akhirnya.

“Hyun,” panggil Minho padaku setelah sekian detik aku terdiam. Bingung. Speechless.

Aku menelan ludah. “Ya?” sahutku pelan banget.

“Kamu tau, kan, kalau aku nggak pernah main-main? Kalau aku selalu serius terutama untuk hal yang seperti ini? Dan kamu pasti udah bisa ngerasa, kan, kalau aku sayang banget sama kamu selama ini?”

“Hmm…” aku tetap menjawabnya dengan gumaman. Bener-bener tidak tau harus jawab apa lagi. Karena memang aku bisa merasakan bagaimana sikap Minho makin manis dari hari ke hari. Hubungan kami tidak lagi hanya sebatas jam kerja dan dalam ruang lingkup kantor. Tapi belakangan ini Minho sudah jadi bagian baru dalam hidup pribadiku. Beberapa kali kami makan malam bersama di luar jam kantor, atau nonton, atau ngopi, dan sebagainya. Minho juga sudah berkali-kali mengantarku pulang di setiap tanggal genap dan menggantikan kebiasaanku untuk pulang dengan taksi karena mobilku memang platnya ganjil.

Sesekali dia juga mampir sebentar di rumah setelah mengantarku pulang, ngobrol sebentar, sebelum akhirnya dia kembali jalan pulang ke rumahnya. Jadi kalau dibilang merasa, jelas aku pasti merasakannya. Tapi untuk mengucapkannya secara verbal, entah kenapa itu masih terasa sulit untukku.

“Hyunjin, hampir tiga bulan terakhir ini aku udah berusaha untuk tunjukin ke kamu kalau aku sayang banget sama kamu. Dari hari pertama kita ketemu di meeting itu, lalu aku kenal kamu lebih jauh, dan sampai akhirnya aku bisa makin dekat dengan kamu juga anak kamu, itu aku lakuin karena aku sayang banget sama kamu, Hyun. Dan sama kamu aku siap serius. Sama kamu, aku nggak mau main-main lagi. Jadi aku pikir, udah waktunya buat aku untuk nyatain ini ke kamu. Kalau aku sayang kamu.”

“Minho,” aku menghela nafas jengah. Tidak dapat menjabarkan dengan jelas apa yang kini aku rasakan, “aku nggak tau aku harus gimana. Jujur, aku kaget banget kamu tiba-tiba ngomong gini, dan… Aku nggak tau apa aku udah siap atau belum dengan semua ini. Aku…”

“Jangan dijawab sekarang, Hyun,” tiba-tiba Minho memotong ucapanku. Membuatku langsung diam. Dia kemudian kembali melanjutkan. “Aku nggak mau kamu jawab ini semua di telepon. Ini bukan hal yang pantas diomongin ditelepon, Hyun. Aku juga cuma pengen kasih tau kamu perasaanku, because I can’t hold it any longer. Tapi ketika aku pulang nanti, kita bicara lagi secara langsung, ya. Intinya aku sayang banget sama kamu, dan aku lega kalau aku akhirnya bisa kasih tau ini ke kamu. Dan apapun jawaban kamu untuk aku, aku harap itu adalah jawaban yang sudah kamu pikirkan berkali-kali, ya? So, good night beautiful, talk to you when I get home, okay?”

“Okay. Nite, Minho. Take care, bye….”

Dan, klik! Telepon terputus setelah aku mengucapkan salam terakhir itu. Meninggalkan aku yang termenung sendirian, menuruti ucapan Minho untuk memikirkan ucapannya lagi dan lagi. Tapi tetap tidak tau aku harus bereaksi apa.

Jujur, bertahun-tahun setelah aku bercerai dengan Chris, ini adalah kali pertama ku bisa sedekat ini dengan laki-laki lain. Selama ini aku selalu menutup diri dan menolak semua orang yang mendekatiku. Padahal kalau diingat-ingat, banyak juga laki-laki yang coba mendekat, dan semuanya juga orang yang baik seperti Minho. But everytime they tried to make a move, I didn’t budge. Aku nggak pernah membiarkan mereka berhasil masuk kedalam kehidupanku yang selalu terkunci rapat ini sampai akhirnya mereka capek dan mundur sendiri. Sampai semua sahabat-sahabatku mungkin sudah bosan dan berbusa untuk menasehatiku agar aku bisa mulai memaafkan diriku sendiri supaya aku bisa mulai membuka diri dan hatiku pada orang lain. Tapi aku tetap tidak mampu.

Sebenarnya aku sadar, sih, membuka hati dan mencoba mencari pasangan baru itu hal yang lumrah setelah kita bercerai, sangat lumrah bahkan. Apalagi Chris dan Felix juga sudah go public sejak setahun yang lalu. Jadi bebanku untuk Chris sudah bisa berkurang sedikit.

Dan Chris juga sepertinya punya tanggapan positif pada Minho, karena aku juga sudah mengenalkan mereka berdua, jauh sebelum hubunganku dan Minho sampai sejauh ini. Iya, aku dan Chris pasti akan saling bercerita pada satu dan yang lain soal orang baru yang hadir dalam hidup kami dan menanyakan penilaian satu dan yang lain seputar mereka. Ini semua adalah upaya kami untuk menjaga agar hubungan pribadi kami dengan pasangan kami yang baru tidak akan menimbulkan masalah bagi hubungan co-parenting kami pada Jeongin. Dan sejauh ini, Chris menilai Minho dengan sangat baik. Mereka bahkan bisa saling ngobrol kecil kalau tidak sengaja bertemu sebentar ketika Minho mengantarku ke rumah Chris untuk bertemu dengan Jeongin.

Jadi sebenarnya kalau aku mau pacaran lagi juga sudah tidak ada salahnya. Semua juga melakukan itu, kok. Mencari cinta sejati selama itu bukan dengan cara yang salah itu wajar, kan?

Tetapi, sekali lagi, ini sebetulnya bukan tentang Minho, melainkan tentangku sendiri. Tentangku dan luka di hatiku yang sampai sekarang masih membuatku trauma. Hingga akhirnya aku terlalu takut untuk membuka hati lagi untuk menerima cinta yang baru. Karena sebetulnya, aku takut disakiti lagi, aku takut gagal lagi, dan aku takut hancur lagi. Karena walaupun perpisahanku dengan Chris mungkin tidak sesulit beberapa pasangan di luar sana yang diwarnai dengan kisruh, luka itu tetap ada. Besar dan menganga, hingga saat ini tak kunjung kering juga. And as much as I wanted to feel love once again, the thought of the possibility of me going through the same painful break up like I had with Chris scared me even more.

Tapi di tengah ketakutanku, sebuah pertanyaan muncul di dalam benak. Tentang bagaimana kalau orang yang datang kepadaku kali ini adalah satu-satunya tiket bagiku untuk melawan monster yang ada di dalam hatiku selama ini?

Because in the middle of my chaos, there’s him.

There’s Minho. Yang menawarkan tangannya untuk ku genggam, yang menawarkan hatinya untuk kumiliki. Dan dia adalah laki-laki yang baik. Baik banget bahkan. And it made me think, what’s so bad about dating Minho?

Then I found nothing as the answer.

Dia baik, dia perhatian, dia selalu menjagaku, dia selalu menunjukkan padaku kalau aku spesial, dan yang paling penting, dia menerima keadaanku juga menerima Jeongin. Isn’t he more than just a good enough? Dan aku punya dua pilihan, menerima dan belajar mencintainya, atau menolak, hurt his feeling, and back to the square-one. Jadi aku pilih yang mana? Menerima? Ataukah menolak?

But then again, why hurt someone whose only intention was to love you?

“Gue balik duluan ya, Hyun, Min. Sori banget nggak bisa nemenin lo lembur. Malam ini gue harus ke dokter, cek kandungan. Sori banget ya, Say?” kata Yeji saat dia bangkit berdiri dan meraih tasnya untuk bersiap-siap pulang, meninggalkanku yang kayaknya bakal apes untuk lembur seharian ini karena ada kasus baru yang harus aku analisis saat ini juga. Untungnya hari ini Jeongin ikut ke Bandung bersama Chris untuk menghadiri premiere film barunya Chris di sana dan baru akan pulang Minggu sore, jadi aku bisa lembur dengan tenang, nggak kepikiran anakku di rumah.

“Gila ya, enak bener jadi perempuan, Hyun. Kalau hamil bisa cabut kantor seenak udel kayak si Yeji, noh,” celetuk Seungmin padaku. Meratapi nasib aku dan dia yang hari ini apes banget karena harus lembur berdua.

“Hehehe… The privilege of being pregnant, Min. Makanya, kalau mau kayak gue, just be a woman and get yourself knocked up too. Gampang, kan?” jawab Yeji pada Seungmin yang hanya dibalas dengan cibirannya.

“Yaudah, balik lo sana. Ati-ati lo, ya. Besok gue follow up soal penjabaran kasusnya.”

“Sip! Daah semuanyaa! Met ngejongos ya, guys.” Yeji kemudian melenggang keluar kantor sambil melambai, bersama hampir seluruh orang di kantor yang juga hari ini lebih beruntung dariku karena mereka tidak lembur. Menyisakan aku dan Seungmin, juga beberapa karyawan lagi yang ketempuan sial untuk lembur hari ini.

Tetapi ditengah konsentrasiku bekerja, suara Minho tiba-tiba menyadarkanku. “Hyun, kamu nggak pulang?”

Aku mengangkat kepala dan menemukannya berdiri di sebelah kubikelku, sambil menenteng tas kerjanya. “Belum, nih. Aku kayaknya lembur, deh. Kamu udah mau pulang, ya?”

“Iya. Kamu sampai jam berapa lemburnya? Jeongin gimana?” Ini juga yang selalu membuatku terpukau dengan Minho. Dia selalu mengingat Jeongin kapanpun bahkan tanpa aku yang mengingatkan.

“Jeongin lagi sama Papanya di Bandung. Jadi aku bisa lembur. Yaudah, kamu mending buruan jalan, gih. Udah jam lima, nih. Macet, lho.”

“Nggak pa-pa kalau aku pulang duluan?”

“Ya nggak pa-pa, lah, Minho. Udah, sana, gih. See you tomorrow.”

“Okay, see you tomorrow. Make sure to give the chocolates to Jeongin, ya, Hyun? Bye.”

“Pasti. Nanti kalau udah nyampe ke Jeongin, aku suruh dia telepon kamu. Bye,” lambaiku padanya yang juga melambai padaku kemudian keluar meninggalkan kantor.

Tetapi saat dia sudah keluar dari kantor, aku kembali bingung, kali ini campur heran juga dengan bagaimana dia masih tetap bertingkah seolah tidak ada yang terjadi. Sementara aku sampai sekarang masih sulit sepenuhnya fokus pada semua yang ku kerjakan karena pikiranku terus terbagi dengan dia yang bilang ‘sayang’ pada semalam. Aku bahkan seharian ini berusaha untuk menghindarinya karena takut kalau tiba-tiba dia mengajakku untuk bicara.

Tapi ternyata setelah aku repot-repot rungsing denga segala pikiranku, apa yang aku takutkan juga tidak terjadi. Minho tetap diam, santai dan seakan tidak terpengaruh oleh apapun yang sudah membuatku pening sejak semalam. Aneh. Dia tuh kenapa, sih? Is he playing me? Os is he playing hard to get with me? Harusnya, kan, justru aku yang playing hard to get, ya? Bukan dia.

Tapi sudahlah! Kalau memang dia nggak ada rencana untuk melanjutkan apapun, aku juga nggak usah mikir apa-apa. Yang jelas bukan aku yang mulai, kan? Walaupun aku jadi kesal juga, karena mau gimana pun, jelas aku merasa dipermainkan. Dan kalau sampai dia memang hanya main-main dengan ucapannya yang kelewat serius semalam itu, aku jelas akan sangat kecewa.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam saat ponselku bergetar dan nama Chris muncul di layarnya. Buru-buru aku meninggalkan pekerjaanku dan meraih ponsel kemudian menggeser tombol hijaunya.

“Halo, Hyun,” suara Chris menyapaku di ujung telepon.

“Halo, Chris?”

“Dimana kamu? Udah tidur, kah?”

“Belom, aku masih di kantor, nih. Masih lembur.”

“Kamu masih di kantor jam segini? Pantesan belum telepon Jeongin juga. Aku kira kamu kelupaan telepon dia, taunya masih kerja.”

Aku terkekeh kecil. “Ya gitu, lah. Kenapa, Chris? Jeongin belum tidur?”

“Belum. Ini makanya dia mau ngomong sama kamu. Son! Nih, Papi,” seru Chris hingga kemudian suara Jeongin segera menggantikannya

“Halo, Papi?” Panggilan Jeongin otomatis membuatku tersenyum.

Halo, buddy. Jeongin kenapa belum bobo?”

“Belum, Pi. Jeong nungguin Papi telepon, sambil nonton Wreck it Ralph sama Uncle Lixie di TV. Papi lagi ngapain?”

“Papi lagi kerja, Nak. Jeongin bobo, deh. Udah malem, lho, ini. Besok, kan, mau pulang ke Jakarta. Terus besok Papi ke rumah, deh. Soalnya ada coklat buat Jeongin, banyak banget. Oleh-oleh dari Om Minho.”

“Ohya? Coklat yang kemarin ya, Pi? Hanuta? Cadbury fingers?” serunya gembira.

“Iya, Sayang. Ada semua ini. Makanya Jeong bobo, ya. Have a beautiful dream, Son. I love you, good night.”

Setelah menutup telepon, aku bangkit berdiri untuk merenggangkan otot-ototku yang rasanya sudah kaku karena dari tadi duduk terus. Gila, jam setengah sebelas and I’m still hustling for the sake of success fee yang bakal aku pake buat bawa Jeongin liburan ke Jepang akhir tahun ini ternyata kompensasinya encok tulang ekor, ya.

Bytheway, mataku menangkap plastik yang dari tadi masih bertengger manis di pojok mejaku dan belum sekalipun ku sentuh. Si Minho ngasih apa, sih, ke Jeongin? Gede banget plastiknya, lebih gede dari yang kemarin. Aku pun kembali duduk dan meraih paper bag itu kemudian membuka isinya yang memang dipenuhi dengan segala macam jenis coklat. Banyak banget, berasa satu toko dia bawa semua ke sini. Ada Hanuta berplastik-plastik, Hershey yang cookies and cream, ada yang caramel, ada Cadbury yang… Wait, ini apa?

Aku mengambil sebuah bungkusan yang dibungkus dengan kertas berwarna biru muda. Dan di luarnya ada tulisan, “Untuk Papinya.”

Ini buat aku? Buru-buru aku meletakan kembali paper bag itu ke atas meja, sambil terus melihat benda yang dibungkus itu. Setelah itu, ku buka kertas itu dengan hati-hati, dan saat sudah terbuka, aku terperangah. Ini adalah poetry book terbaru dari Lang Leav yang berjudul ‘Lullabies’.

Aku ingat, di salah satu makan malam kami, Minho menanyakanku tentang buku yang sedang suka ku baca belakangan ini. Dan aku bilang kalau aku sedang menyukai buku kumpulan puisi karangan Lang Leav yang berjudul ‘Memories’ yang selalu kubawa-bawa di dalam tas. Tapi sayangnya aku cuma punya satu buku, itu juga aku beli ketika aku ke Singapore setahun yang lalu. Dan aku belum menemukan lagi buku-bukunya yang lain di Indonesia.

Kini, bukunya dengan judul lain itu ada di tanganku. Dari Minho. Minho ingat buku ini. Dan dia membelikannya untukku. Tetapi anehnya, buku ini sudah tidak dibungkus plastik lagi. Aku kemudian membuka isinya, dan sekali lagi terkejut dengan halaman yang ditandai dengan benang pembatasnya. PG. 65. The title is ‘The Seventh Sea’.

Aku terperangah membaca isi puisi itu. Dan aku mengerti maksudnya. Ternyata dia tidak melupakan hal ini. Dia tidak lupa dengan ucapannya yang bilang kalau dia sayang padaku. Dia juga tidak lupa dengan pernyataannya. Tapi dia sekali lagi menyatakannya dengan cara seperti ini. Aku saja yang dari tadi tidak menemukan hadiah ini darinya.

Kemudian dibawah puisi itu, ada satu sticky notes yang dituliskan dengan tulisan tangan Minho, ‘Call me when you read this, Hyun. I love you. — M’.

Membuatku buru-buru meraih ponsel, mencari nama Minho di kontak, kemudian memencet tombol dial. Dan dalam nada sambung kedua, teleponku diangkat.

“Halo. Udah baca halaman 65?” begitu katanya langsung setelah telepon diangkat olehnya. Membuatku makin terperangah.

“Kamu dimana sekarang, Minho?”

“Di basement.”

“Di basement? Basement mana?”

Basement kantor, Hyun,” jawabnya santai tapi jelas saja membuatku terkejut. Dia masih si basement? Sejak kapan dia di basement? Sejak dia pamit pulang jam lima tadi? Berarti dia sudah menungguku hampir enam jam dibawah?

“Kamu belum pulang?” tanyaku hati-hati.

“Aku mau nunggu jawaban kamu.”

Gosh! Is he really… “Jangan kemana-mana, ya, aku turun sekarang.”

“I won’t,” jawabnya lalu menutup telepon.

Setelah itu aku langsung bangkit berdiri, meraih kartu aksesku, meninggalkan kantor dan juga semua orang yang bingung melihatku tergesa-gesa begitu.

Dan ketika aku sudah tiba di basement, langkah cepat ku langsung melambat. Seseorang yang ku cari sudah berdiri bersandar di mobilnya, menungguku di sana sendirian. Dan ketika dia melihatku datang, senyum hangatnya langsung terulas untukku.

“Hei,” sapanya saat aku sudah berdiri dihadapannya. Dia menegakkan tubuh dan kini berdiri di hadapanku sambil menatap kedua mataku dalam-dalam.

“Kamu udah baca halaman yang aku tandai, kan?” tanyanya, membuatku mengangguk. “Itu menggambarkan isi hatiku sama kamu, Hyun. Aku cinta sama kamu. And I want you to be mine. Would you?”

Dan aku terperangah. Tuhan… Aku mesti jawab apa? Aku tau, Minho adalah laki-laki yang baik. Dia pengertian, lembut, menyenangkan, dan mampu membuatku melupakan kesakitan yang aku alami dulu. Minho… He’s perfect in every single way, just like how Chris was.

But… He’s not Chris.

Tapi pikiranku seketika buyar saat Minho menyentuh tanganku dan menggenggamnya. Aku menatap tangannya yang sedikit lebih kecil dariku, tapi mampu membuatku merasa terlindungi dalam genggaman kuatnya. Minho memang bukan Chris, tapi bersama Minho, aku bisa merasakan bagaimana rasanya dicintai dengan sempurna seperti bagaimana Chris mencintaiku dulu. Dan aku rindu rasanya dicintai.

“Gimana, Hyun? Kamu mau terima aku?” tanya Minho lagi, menyadarkan ku.

Namun sekali lagi, ketakutan itu hinggap di hatiku. Tentang bagaimana aku dan Chris dulu yang berakhir karena aku yang bodoh dan menghancurkan segalanya. Tentang bagaimana aku yang melupakan rasa sempurna yang Chris berikan. Tentang bagaimana aku akhirnya menorehkan luka pada laki-laki yang sudah memberikan segalanya padaku. Dan aku tak sanggup membayangkan hal yang sama akan terjadi juga pada Minho karena ku.

“Hyunjin…”

Perlahan aku coba tarik tanganku dari genggaman tangannya. Sambil menghela nafas berat, aku menatap Minho. “Minho, kamu nggak lihat keadaan aku sekarang? Aku udah pernah gagal berkeluarga, aku udah pernah punya history yang nggak akan bisa aku tinggalin gitu aja. Dan kehancuran keluarga aku itu semua karena aku. I’m the one who cheated from Chris, Ho. Dan orang kayak aku nggak pantas untuk kamu. I don’t deserve you. And you deserve better.”

Tetapi Minho tak sekalipun berubah. Dia justru mengulurkan tangannya, menyampirkan rambutku ke telinga dengan lembut. Dan menggeleng.

“Enggak, Hyun. You are perfect to me. You are more than enough for me.”

Ya Tuhan… Aku bisa merasakan hatiku menghangat mendengar ucapannya. Minho, kenapa kamu sebegininya sama aku, sih?

“Tapi aku nggak bisa janji apa-apa sama kamu, Minho. Aku takut aku nggak bisa bikin kamu bahagia. Because…”

“You don’t love me yet?”

Aku terperangah ketika dia tau jawabanku. Jujur, aku betul-betul ingin bilang ‘enggak, aku cinta kamu’, tapi aku nggak bisa. Karena aku tau kalau aku melakukan itu, aku berarti berbohong padanya, dan pada diriku sendiri. And I don’t want to start a relationship based on lies. Maka aku menganggukan kepala, walaupun berat. Tapi dia tetap tersenyum. Lalu dengan lembut dia menarikku mendekat. Dan yang dia lakukan setelahnya adalah mencium bibirku. Lembut dan tidak memaksa, tapi aku bisa merasakan cinta di sana. Sebuah ciuman yang sudah lama tak ku rasakan sejak aku berpisah dengan Chris dulu. Yang mampu membuat hatiku menghangat, dilingkupi rasa bahagia.

Lalu saat ciuman kami terurai, Minho kembali menatapku. Dengan tatapan matanya yang biasanya dingin namun selalu terasa hangat ketika dia arahkan padaku. Dengan senyumannya yang tak pernah dia berikan kecuali padaku. Membuatku merasa mungkin ini saatnya aku belajar menerima tangannya untuk menerima cinta kembali bekerja.

“It’s okay. You can take your time to fall in love with me, Hyun. Aku bakal tunggu kamu. Meanwhile, I will keep trying everything to make you happy. I promise. If you let me.”

Dan dengan segala sisa-sisa keyakinan dalam hatiku untuk percaya kalau aku masih pantas dicintai, aku pun menganggukkan kepala pada Minho, sambil dalam hati aku juga berharap agar suatu saat aku bisa membalas cintanya sebesar cinta yang dia berikan padaku.

Lalu dengan senyum yang lebar terkembang, Minho kembali menarik tengkukku, mencium ku lebih dalam dari sebelumnya. Membuatku juga perlahan membalas ciumannya hingga kami sama-sama tersenyum dalam ciuman manis ini.

And something inside of me realized, even though I believe that I haven’t loved him yet, but if this is the feeling that I had every time we kissed, then I know that I’m nearly there.

— The End

--

--

daisyonthegoldy
daisyonthegoldy

Written by daisyonthegoldy

Find me on Twitter @daisyonthegoldy

No responses yet